Halaman

Senin, 16 Januari 2012

Hampir 20 Tahun UU Jamsostek, Hanya 9 Juta Peserta dari 30 Juta Pekerja

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengujian Pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan Pasal 13 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang diregister dengan Nomor Perkara 70/PUU-VIII/2011. Aturan yang mengatur kewajiban pemberi kerja untuk mengikutsertakan jaminan sosial bagi pekerjanya itu diajukan oleh M Komaruddin, M Hafidz, dan Yuliyanti selaku Pengurus dan Anggota Ikatan Serikat Buruh Indonesia. 

Pasal 4 ayat (1) UU Jamsostek menyebutkan program Jamsostek wajib dilakukan setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja. Sementara Pasal 13 ayat (1) UU SJSN menyatakan pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjaannya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai program jaminan sosial yang diikuti.  

Kerugian konstitusional yang dimaksud pemohon lantaran banyaknya perusahaan atau pemberi kerja yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruhnya mendapatkan program jaminan sosial. Dengan melansir data BPS, jumlah pekerja tetap yang bekerja di perusahaan sebanyak 30,72 juta orang. Namun, pekerja/buruh yang diikutsertakan dan aktif sebagai peserta jamsos hanya 9,12 juta orang.

Hal itu disebabkan hanya pemberi kerja yang dapat mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta jamsos. Meski pekerja bisa mendaftarkan diri sebagai peserta secara kolektif dengan iuran sebesar 6,24 hingga 13,74 persen dari upahnya, sementara buruh itu bekerja di perusahaan yang berpotensi menimbulkan sakit, kecelakaan kerja hingga meninggal dunia.

Memang bagi pemberi kerja atau perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya untuk mengikutsertakan buruhnya ke dalam program jamsos dapat diancam pidana dengan hukuman kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal Rp50 juta. Namun, ancaman pidana itu tidaklah menjadi “alat paksa” bagi pemberi kerja untuk mendaftarkan buruhnya ke dalam program jamsos. Terlebih, didorong lemahnya pegawai pengawas tenaga kerja.