Secara sederhana, kalau biaya produksi itu murah maka produk diharapkan akan memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage). Artinya tentang soal harga jual akan memiliki daya saing dibandingkan dengan produk yang memiliki biaya produksi tinggi. Salah satu biaya produksi terletak pada biaya tenaga kerja dalam proses produksi. Di negara berkembang biaya tenaga kerja masih dianggap paling lentur dibandingkan dengan biaya proses produksi yang lain. Hal itu disebut lentur karena labour market menunjukkan posisi leibh tinggi penawaran dari pada permintaan. Selain itu, negara berkembang memang belum banyak menempatkan standar bagaimana seharusnya memperlakukan buruh sebagai manusia dan bukan barang mati sebagaimana materi yang lain dalam proses produksi. Pemikiran inilah yang mendorong proses produksi jauh dari prinsip kemanusiaan.
Kebijakan mengenai buruh murah tidak mungkin terjadi di negara Barat, sebab kebijakan seperti itu sangat bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan hak manusia untuk hidup secara layak. Gaji buruh terstandar yang diatur oleh negara, oleh sebab itu buruh juga dikenakan pajak penghasilan yang harus memberikan kontribusi kepada negara. Baik buruh maupun pengusaha memiliki hak dan kewajiban yang sama, yakni buruh memiliki kekuatan produksi yang disebut dengan labour force sedang pengusaha memiliki kekuatan kapital materiil. Pengusaha tidak mungkin ada kalau buruh sebagai kekuatan produksi tidak pernah ada. Posisi negara adalah netral mengingat kepentingan keduanya. Barang siapa melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi. Sudah tentu undang-undang dibuat untuk mengatur kepentingan semua pihak guna menciptakan keadilan.
Kebijakan buruh murah seperti di Indonesia merupakan sebuah perilaku yang tidak menghargai kemanusiaan. Manusia disamakan dengan benda mati yang kedudukannya bisa diperjual-belikan. Posisi ini sama dengan menjual manusia demi kepentingan investasi. Buruh dikorbankan demi lebih banyak keuntungan investor. Ujung dari semua ini adalah bentuk eksploitasi buruh yang dilegalkan karena diatur dalam undang-undang negara. Negara melakukan kontroversi nilai, di satu sisi menempatkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, akan tetapi praktek tentang kemanusiaan dihapus sendiri oleh negara dengan akan merevisi undang-undang ketenagakerjaan dengan lebih tidak manusiawi dibanding dengan undang-undang ketenagakerjaan yang belum direvisi. Hal ini berarti bahwa negara mendorong proses dehumanisasi.
Makna Dibalik Dehumanisasi
Berbagai peristiwa yang belakangan ini terjadi memiliki makna yang kurang lebih sama dengan penjelasan rasional. Misalnya dalam hal kenaikan harga BBM, penjelasan rasional tentang kenaikan harga BBM adalah bahwa harga BBM yang dinikmati oleh masyarakat masih disubsidi oleh pemerintah dengan biaya cukup tinggi. Oleh sebab itu agar anggaran subsidi tidak terlalu besar maka masyarakat harus membeli sebagian besar BBM dengan harga murni dan kalau bisa tanpa subsidi. Karena pemerintah tidak mampu memberantas tindak kriminalitas penyelundupan minyak yang nilainya cukup besar, konsekuensi cara mengatasi itu dengan menaikkan harga BBM. Sungguhpun kaum miskin disubsidi, akan tetapi persoalannya bukan terletak pada subsidi itu, yakni kemampuan dan keberanian negara untuk memberantas kriminalitas yang merugikan negara seara besar-besaran. Contoh lain juga terjadi pada beras, yang dibelakang impor beras adalah karena ada mafia beras. Kecenderungan akan dinaikkan tarif dasar harga listrik kurang lebih adalah sama, yakni tingginya KKN yang terjadi di negeri ini.
Kini sampai pada persoalan buruh. Banyak kalangan beranggapan bahwa biaya produksi yang dikeluarkan dari pembiayaan buruh tidak seberapa besar prosentasenya, kurang lebih sekitar 10% dari total biaya produksi. Hal ini sangat dimungkinkan sebab perhitungan upah buruh tidak ditentukan atas perjam kerja, akan tetapi dalam satu hari kerja yakni 8 jam kerja per hari. Upah buruh ditentukan dengan UMP yang perhitungannya adalah upah buruh per hari dan bukan per jam kerja. Dengan cara ini sangat dimungkinkan, bahwa upah buruh yang sekarang ini terjadi sudah sangat rendah, yang kalau dilihat dari kebutuhan minimum untuk keperluan hidup. Lalu, ada motif apa dibalik perubahan undang-undang ketenagakerjaan, kalau tidak untuk lebih menekan pembiayaan terhadap buruh? Kalau diikuti logika di atas, ditekannya pembiayaan harga buruh, kemungkinan besar adalah ketidakmampuan negara untuk mengatasi ulah aparatur negara dan para pebisnis atau aparatur negara yang sekaligus pebisnis untuk mengatasi berbagai macam bentuk KKN yang mengakibatkan biaya produksi tinggi. Larinya investor dari Indonesia yang diakibatkan karena biaya buruh tinggi agak tidak masuk akal. Akan tetapi, adalah masuk akal kalau larinya investor itu akibat banyaknya grayak atau pemeras yang tidak mampu diatasi oleh negara.
Dengan demikian akibat dari ketidakmampuan negara untuk mengatasi kriminalitas, yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, masyarakat diwajibkan untuk memikul konsekuensinya. Secara tidak langsung masyarakat sendirilah yang tereksploitasi karenanya. Sudahkah semangat membuat undang-undang adalah untuk membela kepentingan hak-hak kemanusiaan dan melakukan perlindungan terhadap kaum lemah? atau undang-undang disusun untuk kepentingan tertentu yang memberikan legitimasi terhadap eksploitasi kaum lemah? Hal terakhirlah yang banyak terjadi di Indonesia, sebab pendidikan budaya kita kini telah memasuki sebuah ruang kegelapan yang suka menginjak-injak harga diri manusia lain dalam kehidupan sosialnya.